![](https://static.wixstatic.com/media/f25569_4c13d86de1df42dd83d382783d4742e5~mv2.jpg/v1/fill/w_800,h_449,al_c,q_80,enc_auto/f25569_4c13d86de1df42dd83d382783d4742e5~mv2.jpg)
Pembacaan Pilih-pilih terhadap Pameran Performatif “Body Out”, Program Lintas Media, DKJ 2017
oleh Taufik Darwis
Lagi-lagi saya mencoba menuliskan performance art. Sebuah pekerjaan yang kemungkian besar tidak bisa saya selesaikan dengan beberapa alasan-alasan yang saya benci. Pertama, saya adalah orang yang tidak terlalu mendalami sejarah dan diskursus performance art. Kedua, saya malah kerap skeptis pada beberapa praktiknya, ini bisa disebabkan oleh pengalaman dulu ketika saya melihat performance art disekitar saya yang cenderung mengagresi diri dan lingkungannya atau bahkan sama sekali tidak memberikan ruang makna. Ketiga, meskipun bisa dibilang saya tidak jarang menyaksikan praktik performance art, kontruksi pengetahuan seni pertunjukan sedang saya bangun bisa sangat mudah menjelaskan performance art, dengan alasan yang sederhana seperti perbandingan kuantitas dalam proses pengerjaan yang menentukan kualitas karya. Tapi saya harus meyelesaikannya, sebab kalau tidak kata-kata menakutkan sang antagonis Viggo di film John Wick menjadi aktual: “…kau benar-benar membuat orang-orang marah. Manusia tidak berubah, kau tahu itu. Hanya waktu yang berubah…kehidupan ini mengikutimu. Menempel padamu.”
Dan bagusnya, program Lintas Media, Performance Art Sharing (PAS) Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) kali ini (6-8 Juli 2017) memberi tema kurasi “Body Out” yang seturut catatan kurasi Fransisca Retno dan Rhiyadus Shalihin sebagai upaya untuk mencoba menghadirkan gejala-gejala yang merupakan hasil evolusi dari skemata performance yang bertahan hidup di atas konstelasi terminologi dan tema tubuh yang merupakan media konvensional pada sejarah performance art. Atau dalam bahasa Rhiyad, when : 'kita/tubuh kita' tak lagi mesti tergopoh untuk mencapai tujuan. Maka dari itu seturut para kurator, PAS kali ini melibatkan seniman yang memiliki praktik yang jarang menggunakan tubuh sebagai pusat pemaknaan. Malah ada yang sama sekali belum pernah performance art, tapi punya praktik performatif atau perproyek. Strategi kurasi ini memberi ruang dan memungkinkan bagi saya untuk berada “di dalam” atas posisi saya yang berada di luar medan internal performance art. Potensi ruang tersebut akan saya pakai untuk mencoba membaca dari luar (medan diskursus internal performance art) sekaligus dari dalam (tema kurasi).
Ruang untuk publik yang tertantang
Saya harus benar-benar berstrategi agar tulisan saya bisa selesai dan sekaligus menawarkan perspektif yang juga bisa saya ikuti sendiri. Mau dari mana dan kemana. Jadi saya akan memulai dengan karya yang paling bikin saya lebih mudah masuk dalam tema kurasi dan senang, tertawa sendiri. Untuk itu saya tidak akan memahami pemahaman saya terhadap pengertian “Body Out” atau “tubuh ekstensional” pada ranah yang terlalu luas, dengan lebih mencoba membaca disekitaran, bagaimana beban tubuh berada di dalam ruangnya, yang kerap tidak bisa dipecahkan karena cenderung ingin menaklukan, menunjukan dan menyatakan sesuatu. Beban ini mungkin konsekuensi dari makna literal dari “performance” “art” itu sendiri yang dibawa oleh seniman di ruang tertentu. Jadi saya akan memilih beberapa karya yang bekerja di antara hubungan tubuh (seniman),
“A PRACTICE OF PUBLIC ANARCHY #1” , jika dilihat dari judulnya, ini adalah sebuah asumsi karya berbasis ruang yang tumbuh bersama waktu. Ya, waktu yang berubah dan membentuk kenyataan. Dea Widyaevan, sehari sebelum hari pertama Body Out sudah terlihat di pelataran luar Galeri Cipta III, tepatnya di depan tangga masuk ke kantor DKJ. Dea pemasangan dan mendesain banyak koin uang Rp.1000 Rp. 500 di atas paving block trotoar. Pemasangan ini menjadi pertunjukan tersendiri, untuk publik yang lewat dan orang keamanan. Koin-koin dipasang dengan sangat teknikal agar kokoh dan juga tidak mudah lepas. Untuk itu Dea menggunakan – kalau tidak salah – 4 lapisan resin dan serabut fiberglass. Setelah koin terpasang sesuai rancangan,
Apakah batasan identitas ruang temporal di dalam komplek kesenian? Sebut saja ada teguran pada Dea dari pihak keamanan ketika mengerjakan perancangan dan pemasangan. Lalu ada legitimasi atas nama kesenian. CCTV dipasang untuk mendokumentasikan dan mengawasi tanpa ancaman. Lalu sebut juga pihak keamanan yang menjaga ruang temporal itu dari orang-orang yang tidak tahu cara memperlakukan karya seni. Setelah legitimasi berakhir di hari ketiga, pihak keamanan bersama-sama orang-orang bersusah berusaha dengan segala cara dan dengan penuh duran mengambil koin-koin sampai tidak bersisa. Alat-alat seperti obeng, paku, tatah, pisau, batu rapuh, batu keras, sampai tangan yang akhirnya berdarah dan segala teknik yang dianggap secara bergantian diuji coba sebagai alat untuk melepaskan koin dari makna karya seni agar bisa menjadi makna milik miliknya. Inilah pesta anarki publik.
Terjadi terus transformasi antara ruang dan peristiwa yang menghasilkan efek yang terus diproduksi ulang dan berpengaruh pada pembentukan subjek sosial pada orang-orang yang terhubung dengan ruang yang dibuat Dea, yang menyetujuinya, menerima, menyangkal, dikejutkan, dan dibikin tertantang. Performatifitas ruang lahir akibat perubahan konteks fisik dan sosialnya, dan mengubah makna ruang itu sendiri. Kita orang-orang dengan wacana seni hanya bisa menonton, tertawa, mendokumentasikan sambil membiarkan memori penjarahan, dan ritual mucul, lalu ikut mengafirmasi asumsi Dea dengan melihat orang-orang berkerumun, berlomba, termobilisasi untuk saling mengklaim dengan melepaskan koin dari lapis-lapis resin kering.
Wacana ruang sebagai modus pengalaman.
Karya lain yang membuat saya senang adalah “LAWATAN TERBUKA DKJ 2017” karya Theo Frids Hutabarat. Theo memberi saya perspektif lain terhadap ruang. Kalau De sengaja merancang ruang fisik yang berada di antara ruang privat (kelembagaan DKJ) dan publik (komplek seni), Theo menggunakan ruang yang dipakai DKJ untuk bekerja lebih spesifik, melalui kerja pegawai, negosiasi, dan pengelolaan emosi. Seperti ingin menegasakan makna 'kelembagaan' DKJ, bahwa DKJ adalah lembaga publik. Maka mari datang ke “Lawatan Terbuka DKJ 2017”. Saya tidak tahu bagaimana Theo sampai bisa memakai ruang kerja DKJ. Yang pasti di depan pintu DKJ Theo sudah berdiri besama Ikesh (mantan staff DKJ) yang tersenyum dan terlihat tegang. Karya yang awalnya menunjukkan ketertarikan Theo pada arsip dan koleksi lukisan DK sejak era 70-an yang idealnya dapat diakses secara rutin, menjadi meluas secara rutin. “Mari masuk dan lawatan ini akan ditemani Ikesh yang akan menjelaskan setiap fungsi ruangan” kira-kira itu yang dikatakan Theo seperti panitia Open House ketika pintu dibuka dan kami dibiarkan masuk.
Bagi setiap orang yang pernah masuk atau bekerja-sama DKJ mungkin tidak merasa spesial, atau membaca ada wacana baru yang ditawarkan. Apalagi Theo memang tidak punya tendesi artistik untuk mengubah struktur fisik ruangan. Tapi pada lawatan ini kita tidak sendiri. Setiap orang yang bersama ada di DKJ dan mendengarkan penjelasan dari Ikesh juga memiliki narasi dan pengetahuan sendiri tentang apa yang dillihatnya dan apa yang belum dilihat atau diketahui, atau melihat orang lain yang sama sekali belum mengetahui apa saja yang terjadi di DKJ. Sebut saja yang terdekat, bagi saya sendiri, seorang teman memberitahu setelah sebelumnya, ternyata patung yang ada di ruang tunggu yang sering saya lihat seperti bukan koleksi penting DKJ adalah salah satu patung “I Nyoman Cokot” Sang Maestro Patung Bali. Atau saya melihat utama orang-orang tidak tahu siapa yang ditemui dan diajak bicara di ruangan kaca, padahal yang sedang berbicara adalah Martin Aleida yang memang sering menjadikan DKJ sebagai tempat bekerja (menulis). Beberapa orang tersadar, “oh…ini Martin Elieda itu”. Orang-orang bertanya, lalu Martin menceritakan kenangan tentang hubungannya dengan DKJ. Sengaja atau tidak ikut, melalui proyek Theo ini, kita bisa mendapatkan bagaimana tempat, ruang fisik yang kongkret menentukan eksistensi memori pribadi dan memori kolektif. Yang berubah dan bertambah dalam perubahan waktu. Setiap orang boleh keluar bergantian menjadi seseorang di DKJ, tapi DKJ umurnya lebih panjang untuk menyimpan memori bersama dari setiap orang. padahal yang sedang berbicara adalah Martin Aleida yang memang sering menjadikan DKJ sebagai tidak bekerja (menulis). Beberapa orang tersadar, “oh…ini Martin Elieda itu”. Orang-orang bertanya, lalu Martin menceritakan kenangan tentang hubungannya dengan DKJ. Sengaja atau tidak ikut, melalui proyek Theo ini, kita bisa mendapatkan bagaimana tempat, ruang fisik yang kongkret menentukan eksistensi memori pribadi dan memori kolektif. Yang berubah dan bertambah dalam perubahan waktu. Setiap orang boleh keluar bergantian menjadi seseorang di DKJ, tapi DKJ umurnya lebih panjang untuk menyimpan memori bersama dari setiap orang. padahal yang sedang berbicara adalah Martin Aleida yang memang sering menjadikan DKJ sebagai tidak bekerja (menulis). Beberapa orang tersadar, “oh…ini Martin Elieda itu”. Orang-orang bertanya, lalu Martin menceritakan kenangan tentang hubungannya dengan DKJ. Sengaja atau tidak ikut, melalui proyek Theo ini, kita bisa mendapatkan bagaimana tempat, ruang fisik yang kongkret menentukan eksistensi memori pribadi dan memori kolektif. Yang berubah dan bertambah dalam perubahan waktu. Setiap orang boleh keluar bergantian menjadi seseorang di DKJ, tapi DKJ umurnya lebih panjang untuk menyimpan memori bersama dari setiap orang. lalu Martin menceritakan kenangan tentang hubungannya dengan DJJ. Sengaja atau tidak ikut, melalui proyek Theo ini, kita bisa mendapatkan bagaimana tempat, ruang fisik yang kongkret menentukan eksistensi memori pribadi dan memori kolektif. Yang berubah dan bertambah dalam perubahan waktu. Setiap orang boleh keluar bergantian menjadi seseorang di DKJ, tapi DKJ umurnya lebih panjang untuk menyimpan memori bersama dari setiap orang. lalu Martin menceritakan kenangan tentang hubungannya dengan DJJ. Sengaja atau tidak ikut, melalui proyek Theo ini, kita bisa mendapatkan bagaimana tempat, ruang fisik yang kongkret menentukan eksistensi memori pribadi dan memori kolektif. Yang berubah dan bertambah dalam perubahan waktu. Setiap orang boleh keluar bergantian menjadi seseorang di DKJ, tapi DKJ umurnya lebih panjang untuk menyimpan memori bersama dari setiap orang.
Keluar dari ruang kaca, orang-orang kemudian berada di depan blok koleksi lukisan DKJ yang menurut Ikesh, didapatkan dari seniman-seniman yang dulu memberikan pengalaman sebagai tanda pernah bekerja sama. Tapi, tujuan dari gagasan Theo ini tidak tercapai karena lukisan yang ada di dalam tidak bisa dilihat. Sebab untuk membukanya perlu cara tersendiri dan itu merepotkan. Untuk melihat lukisan apa saja yang ada, Ikesh menawarkan katalog. Theo menggunakan potensi performatifitas dari wacana “Lawatan Terbuka DKJ 2017”, dengan bantuan orang di luar struktur kelembagaan (Ikesh) membawa orang-orang masuk, mengambil alih fungsi DKJ sebagai penyedia sarana pengetahuan. Kalau kita bisa membayangkan ini tidak sementara, kira-kira apakah DKJ mengambil alih kembali, mengubah wacana dari “Lawatan Terbuka DKJ 2017” ini, kapan? dan Bila ruang kerja DKj menyimpan memori kolektif, berarti perangkat kelembagaan berubah di situ juga terdapat potensi memori itu diubah, dipisahkan, diatasi, atau dihapus dong?
Seseorang sedang membutuhkan ruangan untuk didengarkan
Dua orang bergiliran menuju ruangan tapi tidak untuk masuk ke dalam ruangan. Di dalam seorang laki-laki berdiri menghadap ke luar, lampu gantung bergoyang-goyang, ruangan seperti sengaja dibikin suram dan menyimpan pikiran yang sedang bekerja, menunggu untuk dibahasakan lewat ucapan. Ketika dua orang telah sampai di depan ruangan berdinding kaca, sebuah smartphone tertempel di kaca. Lalu seorang anak laki-laki teriak seolah menunjukan sesuatu, “angkat-angkat”! Salah seorang dari dua orang yang mengerti, ada panggilan video call. Di layar smart phone laki-laki yang berdiri di ruangan, menyapa kedua orang itu. dekat suaranya tidak jelas, atau gambar dirinya tidak ada. mencoba masuk ke dalam, sambil berteriak, “abah-abah”. Pintu tidak terkunci, laki-laki itu cepat-cepat menutup pintu.
“THE WALL”, Angga Wedhaswara memakai salah satu ruangan yang ada di ruang kerja DKJ menjadi ruang privatnya. Ketika sebuah ruangan mengalami perubahan fisik, fungsi dan identitas ruang berubah. ini sekarang milik Angga, dan dengan tuturan performatif, Angga membuat pertanyaan indikatif yang dijawab oleh dua orang di balik kaca, jawaban itu menjadi panggung untuk Angga ruangan dan menggambarkan kembalo apa yang dialaminya sebagai seorang suami dan bapak yang terpisah secara fisik dengan anak , istrinya. Padahal gambarannya sedang terjadi dari tindakan bicara saat itu juga. Berbeda dari deskripsi kuratorial yang seperti sangat susah membaca gagasan Angga dengan membagi-bagi kategori dengan bahasa “saya penatap”, “yang bertatap muka dari luar”, “pengaca”, “yang mengungkapkan”,
Pengalaman di ruang baru dan untuk tubuh baru ada di persepsi
Apakah saya senang dengan gagasan dari Angga? Memang tidak, tapi dengan gagasan Angga saya punya alasan untuk senang dengan gagasan kinerja Abi Rama, yang terbebas dari dilema moral atas penggunaan teknologi media. “TIDAK ADANYA TUBUH SENDIRI”, pada hari terakhir, kurator mengumumkan giliran Abi Rama. Semua orang menunggu di jalan depan Galeri Cipta III/XXI sambil melihat sekeliling kira-kira di mana Abi akan muncul. Sebuah ruangan tercipta dari kesepakatan yang dipimpin kurator/mc untuk menunggu Ai di satu titik. Tapi ternyata Abi tidak muncul di tengah-tengah, di pinggir, atau dari atas titik kami berkerumun. Abi muncul di Smartphone masing-masing kami lewat fitur pesan WhatsApp: “Dear, Taufik. Terima kasih atas kehadiran Anda. J Abi Rama – Ketiadaan Tubuh Itu Sendiri”. itu juga ruang fisik untuk kehadiran fisik Abi dibatalkan, setiap orang membaca pesan dan beberapa orang yang tidak menulis data diri dibuku tamu melihat apa yang dibacakan orang sambil tersenyum pada layar smartphone-nya. Alih-alih ingin mempertanyakan kehadiran tubuh di dalam seni pertunjukan, Abi menegaskan persepsi ketidakhadirannya berdampak pada lingkungan spasial dan menciptakan ruang sosial dan kolektif. koleksi itu juga tubuh kita hadir secara digital dan di ruang digital pula. Sebab, sama seperti segala informasi di dunia yang mencuat dan tersebar di dalam smartphone yang membuat kita memaknai suatu yang terjadi “di sana”, Abi telah hadir mengemuka lewat teknologi dan membuat memaknai suatu yang terjadi “di sini” dan “saat ini”. Dia hadir secara privat dan publik sekaligus, karena setiap orang menerima pesan yang sama. Tapi apa jadinya bila setiap orang menerima pesan yang berbeda-beda dan dalam waktu yang juga berbeda? Ya, mungkin akan menjadi pesan biasa yang tersasar atau mengajak kenalan dengan strategi-strategi gimmick murahan.
Situ Oke?!
Comments