Esai untuk enam belas tahun Kumpulan Bunyi Sunya yang akan berhenti hari jadinya lewat alam bunyi ”(T)radisi” yang akan digelar pada tanggal 5-6 November 2014 nanti di Studio Teater STSI Bandung dilindungi dengan Unit Kegiatan (UKM) ) Pers Daunjati STSI Bandung
Setelah peristiwa-peristiwa 'aku-mengaku' kebudayaan dan pengambilan kebijakan/regulasi kebudayaan baik yang dilakukan institusi global (UNESCO) atau pun di tingkal nasional, perjalanan eksplorasi seni tengah ada dalam penciptaan yang masif bentuk-bentuk prulal dan kolaboratif yang memadukan seni etnik dan tradisional (baca: yang akhirnya) yang dianggap bisa mencerminkan identitas nasional. Kondisi meributkan identitas nasional dari keanekaragaman identitas seni etnik dan tradisional ini adalah kondisi yang lebih masif daripada kondisi kebudayaan di masa ORDE BARU, dimana ada sebuah keyakinan pemerintahan bahwa kebudayaan nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah. Kondisi ini juga berlaku di arena musik, misalnya,
Tapi pada perkembangannya kejenuhan musik pop berbasis tradisi juga akhirnya mengalami penyeragaman, dan hanya sekadar memuaskan hasrat primodial, kemudian akhirnya digemari oleh para wisatawan/ turis saja yang juga eksotisme tradisi kita, yang kalau kita bisa melihat secara lebih jeli dan jujur bahwa di dalam proses tersebut yang ada hanya konstruksi baik wacana maupun rasa. Tapi di sisi lain, ranah etnik dan tradisional juga menyimpan deposito-endapan yang bisa memberi peluang untuk digali lebih luas dari sekedar bungkus untuk musik pop. Di titik inilah, Kumpulan Bunyi Sunya (KBS) berkarya dengan upaya merekonstruksi ranah etnik dari bebannya sebagai pembukus atau citra dan keluar dari eksplorasi mainstream tersebut.
'Sunya' dalam bahasa Sansekerta berarti 'Cunya' yang artinya sunyi atau hening. Kelompok musik ini terbentuk 1 November 1998 di Utan Kayu, Jakarta, oleh sekelompok pemuda yang gelisah mempertanyakan masalah hidup sehari-hari dan ingin mengekspresikannya dalam bentuk komposisi bunyi yang meski idealis, namun tetap plastis, kontekstual, dan universal. Proses kreatifnya berangkat dari sikap saling asah-asih-asuh di antara para pendirinya. Para anggota adalah para multiplikator seni yang telah mengalami pergaulan dan pergulatan di dunia teater, tari, penataan artistik panggung, desain grafis, seni rupa, seni gerak, yang secara rutin dan tekun berworkshop bersama. Pelatihan dan pengkajian yang berawal dari dorongan batin dan dilakukan secara bertahap tahap demi tahap.
Saya mengenal KBS tidak secara langsung, tetapi melalui 'perentara' seorang teman yang sekaligus juga para pendiri KBS sendiri, yaitu S. Lawe NH disekitar tahun 2005-2006 di lingkungan akademis Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung. Sebelum saya tercatat sebagai mahasiswa Jurusan Teater pada tahun 2005, Lawe sudah tercatat sebagai mahasiswa Jurusan Karawitan. Di tahun 2009-2011, kami pernah mendirikan dan berkomunitas di tengah-tengah perkampungan di Dago Bandung bersama warga. Di tahun itulah saya lebih mengenal Lawe, mulai dari kesehariannya, proses kreatifnya dan nama komunitasnya di Utan Kayu, Kumpulan Bunyi Sunya. Pertemuan kreatif di teater memang membuat setiap seniman dengan latar belakang minat seni saling berhubungan, begitu juga saya dengann Lawe. Di luar karya bunyi (musik)nya yang pembohong, aneh, melawan pakem-pakem tradisi musik di ruang primodial tertentu, Lawe justru memiliki dan melakukan praktik-praktik 'mitis' yang saya anggap milik tradisi primodial tertentu. Misalnya, mandi tengah malam di mata air saat malam bulan purnama, ziarah ke tempat-tempat yang dianggap mempunyai energi, meditasi dan usik (gerak) di tengah malam, bakar wewangian, merawat benda-benda tertentu, puasa makan atau minuman (mis: makan) nasi) di hari-hari tertentu, dan memang Lawe sendiri seorang vegetarian. Saya pun beberapa kali ikut melakukan praktik-praktik tersebut, bahkan mengajak teman-teman yang lain di lingkungan akademis. ziarah ke tempat-tempat yang dianggap sebagai energi, meditasi dan usik (gerak) di tengah malam, bakar wewangian, merawat benda-benda tertentu, puasa makan atau minuman (mis: makan nasi) di hari-hari tertentu, dan memang Lawe sendiri seorang vegetarian. Saya pun beberapa kali ikut melakukan praktik-praktik tersebut, bahkan mengajak teman-teman yang lain di lingkungan akademis. ziarah ke tempat-tempat yang dianggap sebagai energi, meditasi dan usik (gerak) di tengah malam, bakar wewangian, merawat benda-benda tertentu, puasa makan atau minuman (mis: makan nasi) di hari-hari tertentu, dan memang Lawe sendiri seorang vegetarian. Saya pun beberapa kali ikut melakukan praktik-praktik tersebut, bahkan mengajak teman-teman yang lain di lingkungan akademis.
Hingga akhirnya tahun 2012 ketika, saya dikenal dengan teman-teman KBS yang hendak pentas di Bandung menjadi penata musik pertunjukan teater Mastodon dan Burung Kondor Bengkel Teater Rendra dari Depok. Setelah bertemu di Bandung, saya berkesempatan ikut ke Citayem (tempat sekarang KBS sering bertemu). Setelah beberapa hari melalui pembicaraan dan sana-sini, ternyata setiap anggota KBS memiliki praktik yang tidak jauh berbeda dengan Lawe. Artinya, praktik-praktik tersebut dilakukan dan (mungkin) diyakini sebagai sama dalam komunitas. Mengapa memilih praktik-praktik itu di jalur berkarya yang 'tidak biasa' dan dilakukan-disepakati bersama?
Perjalanan Lawe dan Terciptanya 'Jalan Sunya' Empat hari sebelum pengorbanan bergejolak, saya melihat langit Jakarta memerah, belum tahu juga akan merugikan, malamnya teman-teman berkumpul di rumah bapak di utan kayu. Kami duduk dan meditasi. Saya menangis, kesal. [... ]Soal saya menolak atau keluar dari cara syari'at keluarga, karena memang sejak 94 saya tidak menemukan 'rasa' agama yang dianut umum.Yang berat adalah sejak akhir 98 sampai 2001 saya tidak disapa samasekali oleh ibu dan bapa, meskipun demikian di lebaran. (Petani dari wawancara dengan S. Lawe NH)
Lawe sendiri tidak pernah benar mengatakan bahwa praktik-praktik yang KBS merupakan praktik mistis, meskipun beberapa seniman dilingkungannya dan masyarakat awam di sekitar tempat tingalnya mengatakan demikian. Lawe menyebut praktik-praktik yang dilakukan di KBS adalah 'Jalan Sunya' dan tengah dilakukan sejak tiga belas tahun silam. Praktik-praktik yang sering dijalankan dan dipilih oleh KBS, diantaranya:
- Tidak makan daging dan ikan
- Temu Udara: meditasi, tiap malam rabu jam 12, teman anggota berada .
- Ziarah Bunyi: mendatangi tempat-tempat 'keramat', mengolah pendegaran terjauh dan terdekat dengan wewangian sebagai temponya.
- Ngayep: puasa hanya makan buah-buahan dan air bening, biasanya ketika hari ulang tahun atau hari-hari khusus.
- Satu Nafas: duduk nyaman, beradu mendengarkan ketukan dari metronom.
- Menjemput Guru: mendatangi tokoh dalam bidang apapun untuk berbagi hal-hal yang terkait.
Lawe mengatakan, memang praktik-praktik tersebut tidak sepenuhnya muncul secara khas dari KBS sendiri, tapi memang hasil belajar dari sana-sini. Berawal dari Lawe yang ikut perkumpulan teosofi di Kampung Melayu dan Padepokan Pencak Silat Pancadaya, dua tahun kemudian teman-temannya menyusul setelah pengorbanan 1998, makanya KBS terbentuk pada tahun 1999. Untuk urusan bebunyian atau musik, setelah terbentuk, Lawe dan disusul yang lain hijrah ke Solo belajar komposisi bunyi yang ada dengan cakra dan tenaga, dari Yasudah (seniman/komponis musik)[2]. Tahun 2000, Lawe hijrah ke Bandung belajar musik ke Dodi Satya Ekagustdiman (dosen STSI Bandung, seniman/komponis musik)[3]. Tahun 2001 tercatat sebagai mahasiswa semester 1 Jurusan Karawitan STSI Bandung, di Banjaran (Bandung) belajar hitungan Sunda.
Lawe juga memberi alasan lebih mendasar mengapa ia menolak Jalan Sunya tidak mau disebut praktek mitis, yaitu untuk menjaga tempo untuk tetap bermusik, apalagi bunyi (meskiun sulit). Maka dari itu praktik-praktik tersebut terus-menerus diulang hingga seterusnya umur KBS yang ke-15 tahun. Lawe juga menyebut jalan seninya sebagai jalan seni esoterik, dalam arti di luar jalan yang serba aneh atau hanya beberapa orang saja, tapi sebagai jalan untuk mencari keyakinan, dan menjalankan keyakinan itu sendiri. Ini bisa dibacakan dengan jelas melaui 'Jalan Sunya-nya'. Ada kalanya praktik-praktik tidak melahirkan ide apa-apa, tapi juga ada kalanya praktik-praktik tersebut sangat fenomena alam, misalnya komposisi Turun Padi yang lahir setelah beberapa kali perjalanan ke Baduy,
Jalan Sunya: pertemuan dari berbagai jalan
Yang saya bingungkan sekarang malah, agama kami sekarang apa ya? hehehe (Petani dari wawancara dengan S. Lawe NH)
Tweed dalam Toward A Theory Of Religion[5] berusaha menjelaskan definisi agama, dari suatu posisi untuk melihat pergerakan dan hubungan. Definisi ini, yang mana akan membawa pada suatu definisi yang cair dan spatial trope. Agama-agama adalah pertemuan dari aliran budaya organik yang memperkuat kegembiraan dan penderitaan dengan kekuatan yang kuat dari manusia dan supramanusia untuk membuat rumah dan melampaui batas. Tweed mengantarkan saya pada suatu kesimpulan sementara, bahwa apa yang telah dilakukan KBS, tertutama dimulai dari Lawe yang memutuskan dari ajaran agama yang diyakini keluarganya hingga menemukan dan menjalankan Jalan Sunyanya baik untuk kehidupan sehari-hari ataupun bermusik adalah sebuah usaha untuk menjelaskan pertanyaan Lawe sendiri yang membingungkan (meskipun disertai tertawa) tentang apa agamanya. Agama adalah bentuk yang jamak.
Apa yang dialami Lawe ketika keluar dari ajaran agama keluarganya dan merasa perlu belajar di sana-sini adalah kondisi dinamis sebuah interaksi dan pertemuan manusia yang satu dengan manusia yang lain di dalam dan melampaui batas-batas ruang tertentu. Misalnya pertemuan antar gejolak di keluarga dengan gejolak politik di Jakarta akhir Orde Baru, lalu dengan belajar di perkumpulan teosofi adalah berbagai hubungan yang mempengaruhi antara aspek afektif, sistem kekerabatan, politik, sejarah tradisi ajaran agama, baik langsung maupun tidak langsung bahwa agama adalah sesuatu yang bersifat cair, pertemuan, gerakan atau aliran. Jadi memang tidak bisa direduksi sebagai kekuatan salah satu hubungan tersebut. Ketika agama dibayangkan sebagai aliran (cair/aquatic), Tweed menyarankan untuk membayangkan aliran yang bersifat spasial dan temporal, organik sebagaimana juga kultural. Aliran ini meliputi proses pemikiran dan ritual dalam acara.
Ketika Jalan Seni Esoteris adalah Jalan Sunya, maka jalan yang diyakini dan dijalankan berulang-ulang tersebut memiliki unsur pengombinasian antara perjalanan pribadi dan perjalanan kolektif KBS. Ketika secara pribadi manusia ingin terus mencari apa yang manusia inginkan dan bagaimana perasaan mereka, seperti Lawe di sekitar keputusannya dari ajaran agama yang diyakini juga diyakini secara umum dan mengetahui apa yang ingin ia rasakan secara khusus. Secara kolektif, bagaimana setiap orang di KBS memiliki keinginan bersama untuk saling belajar dan melakukan tindakan yang dilakukan Jalan Sunya secara pribadi dan komunal, baik untuk menjaga tempo atau ketika menghadapi suatu proses karya bermusik. Jadi memang tidak harus melulu ada hubungan yang kentara antara Jalan Sunya dengan ide berkarya. Tidak ada langsung mengapa dari pikiran praktik yang diyakini dan dijalani bersama dan dianggap umum sebagai pratik mistis keluar ide dan bentuk karya yang tidak biasa, malah melawan atau mengiterupsi sebuah keyakinan tradisi musik yang ada. Karena, saya tidak bisa membaca dari situ, tapi dari bagaimana mengetahui praktik tersebut dibentuk oleh apa yang diinginkan dari proses kognitif (kepercayaan), moral (nilai), dan afektif (emosi) KBS sendiri karena dari situlah sebuah karya sebagai ekpresi bahasa (metafora, kiasan, mitos, dan simbol) dilahirkan sebagai sarana untuk membuat dan membuat ulang imajinasi tentang dunia. malah melawan atau mengiterupsi sebuah keyakinan tradisi musik yang ada. Karena, saya tidak bisa membaca dari situ, tapi dari bagaimana mengetahui praktik tersebut dibentuk oleh apa yang diinginkan dari proses kognitif (kepercayaan), moral (nilai), dan afektif (emosi) KBS sendiri karena dari situlah sebuah karya sebagai ekpresi bahasa (metafora, kiasan, mitos, dan simbol) dilahirkan sebagai sarana untuk membuat dan membuat ulang imajinasi tentang dunia. malah melawan atau mengiterupsi sebuah keyakinan tradisi musik yang ada. Karena, saya tidak bisa membaca dari situ, tapi dari bagaimana mengetahui praktik tersebut dibentuk oleh apa yang diinginkan dari proses kognitif (kepercayaan), moral (nilai), dan afektif (emosi) KBS sendiri karena dari situlah sebuah karya sebagai ekpresi bahasa (metafora, kiasan, mitos, dan simbol) dilahirkan sebagai sarana untuk membuat dan membuat ulang imajinasi tentang dunia.
Ekspresi bahasa (dalam hal ini, musik) memiliki suatu posisi yang unik dalam sebuah keyakinan yang terus dilakukan. Agama banyak menggunakan bahasa ini sebagai cara untuk mengungkapkan berbagai hal yang sulit diekspresikan seperti kekuatan supramanusia, cinta dan berbagai konsep seperti relativitas. Memang perlu kajian yang lebih khusus untuk membahas tentang musik KBS, tapi setidaknya kita bisa membaca bahwa musik yang mungkin dianggap sekedar aneh, sok kontemoper, terdapat pergumulan kognisi, emosi, dan nilai dari manusia yang ingin dan sedang membuat imaji tentang dunia dalam pengertian seluas-luasnya.***
[1] Profil Kelompok Bunyi Sunya, di dapat dari S. Lawe NH
[2] Lihat http://www.yasudahsolo.com/
[3] Lihat http://www.kelola.or.id/database/music/list/&dd_id=77&p=1
[4] Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Slamet_Abdul_Sjukur
[5] Dalam Crossing and Dwelling: A Theory of Religion, Harvard University Press, 2006.
Comments