![](https://static.wixstatic.com/media/f25569_a6ecd15757f8433d910390d2ddd07cd1~mv2.png/v1/fill/w_448,h_309,al_c,q_85,enc_auto/f25569_a6ecd15757f8433d910390d2ddd07cd1~mv2.png)
TEATER YANG LAHIR DARI KE-WARGA-DUNIA-AN ASRUL?
Coba saja pikir, ketika itu milik Negara baru saja didapatkan setelah sekian lama perjuangan berdarah dan diplomasi dijalankan. Belum sampai bernafas lega, tiba-tiba Negara yang masih sangat muda ini menghadapi cukup banyak masalah politik, ekonomi, dan sosial. Di saat seperti itu tiba-tiba pula Asrul tampil dengan pernyataan yang menggugah kesadaran dan orientasi budaya. Baru saja sebuah batas perjalanan sejarah bangsa berhasil didirikan dengan darah dan air mata, ia tampil dengan pernyataan budaya yang terasa seperti merelatifkan batas itu – “Kami adalah ahli waris yang sah kebudayaan dunia dan kebudayan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri”. Mengapa tidak mengatakan “ahli waris kebudayaan nenek moyang?” ini bikin perkara namanya? (Abdulah, 1997: xiv)
Kalimat tersebut sengaja saya kutip dari kata pengantar Taufik Abdullah dalam buku Surat-Surat Kepercayaan[i] untuk memberi gambaran bagaimana Asrul dan Angkatan'45 menjadi begitu penting disediakan oleh para seniman sebelum dan sebelum melahirkannya. Abdullah mengatakan bahwa Asrul “bikin perkara” karena memiliki kesadaran kultural yang tidak percaya untuk berfikir bebas, tapi bukan pada gejala sosio-kultural yang terjadi yakni lahirnya sebuah Negara Indonesia, tapi pada dirinya sendiri. Apakah Asrul memang “bikin perkara”?
Jika membaca dari uraian ringkasan di atas, ke-wargadunia-an Asrul dengan kalimatnya “Kami adalah ahli waris yang sah budaya dunia dan budayan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri” merupakan konsekuensi dari kecil birografisnya setelah sampai pendidikan tinggi. kesusastraan dunia.[ii] Keith Foulcher dalam esainya “Angkatan'45 dan Warisannya”[iii] mendefinisikan bahwa sastra Angkatan'45 timbul dari hasil karya sekelompok penulis yang aktif pada masa pendudukan Belanda di Jakarta pada tahun 1945. Ungkapan kesusastraan kelompok penulis ini menunjukan pada adanya asimilasi suatu kecenderungan kesenian dan kesusastraan modernis Eropa di tahun-tahun antara masa perang PD I dan II pada kebudayaan Indonesia (1997: 96).
Lalu mencoba lebih jauh dari Foulcher mencoba mengaitkan sekaligus membedakan Angkatan'45 dengan gerakan nasionalisme Indonesia aliran Sjahrir (pamannya Chairil) yang mengembangkan kerangka berpikir dan bertindak yang tidak menemui kesulitan dalam merekonsiliasi antara perjuangan gerakan nasionalis bagi kebebasan dan kemerdekaan Indonesia, dengan rasa hormat pada nilai -nilai dan peradaban Barat, yakni pola pikir internasional - Meskipun pada pembangunan titik berikutnya Foulcher mengatakan bahwa tidak ada titik persinggungan secara langsung antara gerakan Sjahrir dan Angkatan'45 - :
Upaya keras bagi taraf pengertian 'internasional' ini menjadi tema utama dalam karya-karya kelompok Chairil Anwar. Ini adalah 'internasionalisme yang ditawarkan Sjahrir yang didasarkan pada suatu kerangka dalam memahami antara fasisme dan kapitalisme selama masa pendudukan. Sebaliknya bagi Chairil dan kelompoknya hal ini berangkat dari penilaian terhadap estetika modernis Eropa. Ini berarti, ketika digunakan oleh Chairil Anwar dan kelompoknya, kerangka 'internasional' ini bertanggung jawab penuh pada integritas individu seniman/intelektual sebagai 'pembangunan kebudayaan'. (1997:93-94)
Nasionalisme Kebudayaan - atau kata Abdullah "warisan nenek moyang" atau dalam bahasa Asrul "melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan"- itu dielakan karena tanggung jawab individu. Karena menurut Asrul “yang ditemui adalah manusia”. Jadi apa hubungannya ke-wargadunia-an Asrul dan Angkatan'45 ini "yang pokoknya ditemui adalah" dengan pencarian teater (versi Asrul) yang akan dibaca dalam perspektif pascakolonial ini?
PEMIKIRAN TEATER ASRUL
Sebelum lebih jauh saya membahas tentang bagaimana Asrul bergulat dengan pemikirannya sendiri mengenai teater, yang nantinya melahirkan beberapa peristiwa penting bagi teater Indonesia (dalam versinya), izinkan saya untuk mengutip beberapa pemikirannya untuk membawa saya lebih memahami pandangan dasar dalam memposisikan teater. Pun signifikansinya bagi kepercayaan pada ke-wargadunia-an “yang tidak akan memberi kata-kata untuk kebudayaan Indonesia”, dan “tidak ingat akan melap-lap hasil kebudayaan lama berkilat dan untuk dibanggakan”, tapi” suatu hal penghidupan kebudayaan baru yang sehat” . Di bawah ini[iv] adalah kutipannya:
Salah satu hal yang paling banyak dipersoalkan di Negara-negara baru berkembang – termasuk kawasan Asia Tenggara – adalah masalah identitas diri dan pencarian identitas baru. Persoalan ini adalah persoalan manusia dengan keadaan sekitarnya, persoalan kondisi manusia dalam suatu zaman. Dan jika orang yang mempersoalkan ini mengarahkan pandangannya pada sejarah maka ia akan merasakan kerasnya hal yang terdapat dalam sejarah kebudayaan Indonesia yang saya gambarkan tadi. Ia akan menghargai sejarah kebudayaan sebagai sejarah umat manusia. Akan, melihat bahwa pemikiran sejarah dalam rangka membahayakan keselamatan, bahkan dapat menyesatkan. (Asrul, 1997:242) […] Memang tidak mudah untuk liburan yang terasakan terdapat dalam gambaran sejarah Kebudayaan Indonesia ini. Tidak ada kronik-kronik atau catatan harian yang diperlukan untuk ini sangat mempersulit pekerjaan peneliti atau pengarang. Tapi jika bergerak ke zaman yang leih dekat, misalnya ke abad 19, artinya ke wilayah sejarah modern, maka kemungkinan ini akan lebih ada. (1997: 243) […] Jika kebudayaan sebagai pola kehidupan yang dipelajari bersama dan diikuti bersama oleh anggota masyarakat, maka jelaslah bahwa dalam memikirkan sesuatu yang selalu membuat contoh atau "model". Kekosongan ini harus diisi oleh salah satu lembaga yang terdapat dalam sistem kebudayaan tersebut. Dan di Indonesia lembaga itu adalah teater. (1997: 244)
Dalam kutipan di atas, jelaslah bahwa interaksi dari pendirian ke-wargaduniaan dan pengutamaannya kepada manusia berpengaruh dalam pemikirannya tentang teater yang dijadikannya model untuk mengisi “kekosongan dalam sejarah kebudayaan Indonesia”, untuk menjawab “persoalan identitas” sebagai manusia-anggota masyarakat dari Negara yang baru merdeka di bawah bayang-bayang politik internasional. Karena masa-masa kemunculan pemikirannya masih ada di dalam gejolak “keperkaraan” pandangannya dalam Surat Kepercayaan Gelanggang.
Kalau saya coba untuk mulai memasuki kasus penerjemahan lebih dari 100 judul naskah sastra drama (yang tercatat) misalnya, ini membuktikan konsistensinya sebagai individu yang mempercayai apa yang diperjuangkannya. Meskipun tidak disadari atau tidak memiliki jejak keterpengaruhan dari semasa interaksinya dengan pergaulan kalangan intelektual Belanda. Pemikiran tentang penerjemahan naskah ini saya dapatkan dan kutip dari dalam salah satu esainya:
Konperensi Teater Internasional yang kira kira dua bulan lalu diadakan, juga diadakan Konperensi Teater Penggemar. Tidak dalam UNESCO, tapi dengan kedekatan erat dengannya. Inggris mengirim ketua British Drama League dan ahli-ahli sandiwara lain untuk berbicara dalam pembeliensi penggemar sandiwara ini. […] Maka untuk saat ini ada baiknya jika di Indonesia didirikan sebuah liga seni drama yang berusaha dalam kemajuan-kemajuan seni drama. Salah satu tentang yang musykil pada kita sekarang ini tidak ada atau sangat sedikitnya karangan-karangan sandiwara yang dikarang oleh pengarang-pengarang Indonesia. […] Tapi kekurangan ini dapat kita isi dengan mengadaptasi drama-drama luar negeri. Dan ini adalah kewajiban yang patut di liga ini. Banyak orang mengatakan bahwa kita memiliki bakat yang besar untuk bermain sandiwara. Tapi permainan sandiwara juga menginginkan teknik dan teknik harus dipelajari. Jika Liga Drama ini tidak ingin didirikan, mungkin janganlah didirikan dengan hubungan pemerintah.[v]
Bisa dibilang, kutipan di atas inilah titik awal keputusannya untuk menerjemahkan naskah-naskah dunia sebagai representasi golongan pelajar dengan teater amatirnya yang gandrung kepada naskah-naskah Barat-dunia yang sudah saya bahas melalui tulisan Jakob Sumardjo dalam sub-bab di atas. Tapi tidak hanya itu, Asrul juga dalam kutipan tersebut telah memikiran tentang pembentukan lembaga-lembaga kesenian khususnya di Jakarta yang nantinya akan menjadi ATNI, DKJ, dan IKJ. Tentang penerjemahan dan pembentukan lembaga seni terebut, juga diterangkan Ajip Rosidi dalam catatan penyuntingan Surat-Surat Kepercayaan: “Ketika DKJ menerjemahkan lakon dan sastra dunia, Asrul banyak mengambilnya. Saya, ketika menjadi salah seorang Ketua DKJ, pernah menghitung,
Ania Lomba dalam buku Kolonialisme/Pascakolonialisme pentingnya naskah-naskah literer yang dapat dikatakan jauh dari, atau bahkan kritis terhadap, ideologi-ideologi kolonial, dapat dibuat menjadi mengabdikan kepentingan-kepentingan kolonial melalui sistem-sistem pendidikanonal yang mendevaluasi sastra-literatur pribumi, dan melalui praktik-praktik kritis Eropa-sentris yang berkeras bahwa naskah-naskah Barat tertentu merupakan pertanda budaya yang lebih unggul. (Lomba, 2000:112). Asrul menilai drama yang diterjemahkan apakah itu unggul? Di salah satu esainya yang lain, kepercayaannya akan individu-manusia yang kuat meskipun dianggap-menganggap kelompok minoritas juga menjadi penting dalam pemikirannya:
Juga dalam bidang teater, golongan baru ini menumbuhkan teater yang baru. Jika kita merasa perlu juga untuk mengklasifikasikannya, maka teater ini dapat digolongkan pada teater yang dibangun di atas dasar teater Barat. Relatif teater ini baru, namun ia berkembang dengan cepat sekali dan perkembangannya berlangsung di seluruh pelosok Nusantara. Yang jadi paling penting dari fenomena baru ini adalah bahwa ia tidak lagi bertujuan menjadikan dirinya sumber citra yang harus dijadikan contoh oleh orang banyak. Ia tidak menampilkan Arjuna dan Gatotkaca yang dapat dijadikan bahan bagi orang tua dalam mendidik anak-anak. Ia megemukakan hubungan antar manusia dan kenyataan waktu dan tempat. Ia tidak berpikir normatif; yang ideal dapat diomongkan tapi harus diperhitungkan adalah kenyataan yang sebenar-benarnya. Dewa-dewa yang bertubuh manusia diganti dengan manusia yang sebenarnya dengan segala kemungkinan dan hak-haknya untuk memperjuangkan bentuk hidup atas kebenaran sendiri. (Asrul, 1997:252)
Asrul dengan tegas mengatakan dalam kutipan esai ini: Teater Barat. Teater Barat yang hak Asrul adalah teater yang memanggungkan manusia oleh manusia, yang tidak percaya pada manusia. Juga sastra drama yang tidak percaya pada manusia, bukan sosok lain di luar manusia. Manusia yang berada dibelahan bumi manapun. Karena yang paling penting adalah pesan, amanat, dan makna drama yang dapat terjadi di mana saja. Asrul lebih jauh dijelaskan lebih jelas:
tidak. Jika saya bicara teater dan pendidikan masyarakat, maka maksud saya adalah teater mempengaruhi, teater sebagai propaganda, tapi teater yang dijadikan alat untuk kepentingan jiwa manusia, pendekatan rakyat dengan zaman dan realitasnya sendiri. tragis interealitet-idee. Bukan teater yang memberikan pelajaran, tapi alat komunikasi yang mengungkapkan perasaan dan pikiran. (Asrul, 1997:237) […] Teater ini diberikan predikat modern atau kontemporer, oleh umum ia diberikan kehormatan untuk secara resmi memakai predikat seni dalam arti tinggi; ia mulai dipelajari; kaum cendekiawan perhatian terhadap perhatian; kaum muda tertarik olehnya; dalam dirinya terkandung potensi yang besar untuk tumbuh. Tapi pada saat ini ia merupakan teater golongan minoritas. Sekirannya bangsa kita menemui manusia dan menaikannya ke atas panggung, maka dalam teater ini manusia itu bukan lagi tipe tapi individu. Teater ini menjadi alat untuk memahami manusia dengan lebih baik. Teater ini mengakui kekhususan setiap pribadi. Teater ini adalah teater demokrasi baru, dan emansipasi manusia modern. Teater yang memilih dan memilih diri dari hukum yang menyemaratakan setiap manusia. Sebagai teater yang muda ia belum mampunyai tradisi. Tidak dapat diingkari bahwa bentuk teater ini orientasinya masih ke Eropa dan Amerika. Dalam usaha untuk mencari bentuk, maka pengertian modern yang diukur dengan pengertian Eropa modern. (Asrul, 1997: 265)
Kepercayaannya pada manusia sebagai subjek ini juga berpengaruh pada penerjemahannya di luar naskah drama, yaitu teknik-teknik pemeranan atau akting yang juga mempercayai manusia: Stanilavsky (dan Boleslavsky) yang psikologi individu pada masalah-masalah sosial, yang kemudian penerjemahannya diterbitkan oleh Pustaka Jaya. Seperti yang diterangkan Ajip:
Karena minat Asrul bekerja pada dunia pentas, sebelum masuk ke dunia film – walaupun mungkin hampir bersamaan. Pada awal tahun 1950-an, tulisan-tulisannya masih suara dari jarak, tetapi kemudia menjadi lebih menyatu dengan kegiatan teater dia bersama Usmar Ismail medirikan Akademi Teater Nasional (ATNI) yang sehari-hari dia pimpin. Asrul juga pernah mendapat kesempatan untuk mempelajari teater di Amerika, menyajikan gagasan teater yang berdasarkan kebenaran psikologis yang dimulai oleh Konstantin Stanislavsky dan besar pengaruhnya terhadap kelompok teater Actrors Studio di New York yang pada waktu mencapai masa jayanya. Asrul sendiri kemudia menerjemahkan karya utama Stanislavsky, Pesiapan Seorang Aktor (Pustaka Jaya, 1979). Metode akting itu dipraktekan Asrul dengan para mahasiswanya dalam pementasan karya-karya terjemahan. Dari lembaga ini kemudian lahir para aktor, aktris, dan sutradara Indonesia andal seperti Ismed M. Noor, Tatiek Malyati, Steve Liem (Teguh Karya), Wahyu Sihombing, Pramana Padmodarmaja, dan lain-lain. (Ajip, 1997:x)
Selain pemikirannya tentang penerjemahan sastra drama, teori-metoda akting, dan infrastruktur bagi teater. Asrul juga di dalam esai-esainya yang lain mengutamakan fungsi teater bagi pembentukan bahasa Indonesia. Bagi Asrul teater adalah alat yang baik sekali untuk penyebaran bahasa Indonesia (1997: 270) di masa-masa transisi pascakemerdekaan. Karena kepemimpinan kelengkapan yang harus dimiliki oleh dialog drama membuat penggunaan bahasa dalam drama jauh lebih kaya dari penggunaan bahasa dalam film. Tapi di sisi lain Asrul juga mengkritik drama atau teater yang menggunakan bahasa di luar penggunaan bahasa yang baik, bahasa yang dimaksud adalah bahasa keseharian. Berikut ini adalah kutipan lengkapnya:
Dalam soal bahasa, teater dan film adalah semacam parasit. Ia bahasa yang sudah ada dan menyajikan dalam bentuk-bentuk yang lumrah dalam suatu zaman. Ia merupakan pedagang yang menjual barangnya secara borongan, yang buruk dan yang baik sekali pukul. Ia akan menyebarkan: segala macam kebiasaan yang baik dalam bahasa dan juga segala macam salah kaprah. Secara kasarnya dapat diambil kesimpuan bahwa dalam soal bahasa, bahasa teater dan film adalah hasil dari penggunaan bahasa. Akan baik bahasa yang digunakan oleh masyarakat akan lebih baik dan terang pula bahasa yang digunakan dalam film dan teater. (Asrul, 1997: 273-274)
Di dalam paragraf terakhir ini saya akan mencoba membatasi sekaligus menarik kesimpulan terhadap pemikiran teater Asrul Sani ini. Di mana saya mengambil tiga poin penting dalam pemikirannya bagi perkembangan teater Indonesia selanjutnya. Poin itu adalah penerjemahan sastra drama dan teori-metode akting, infrastruktur untuk teater, serta penggunaan dan pembentukan Bahasa Indonesia di dalam teater.
P EMBACAAN PASCAKOLONIAL PADA TEATER INDONESIA VERSI ASRUL
Karena teater versi Asrul ini akan saya baca melalui perspektif pascakolonial, menurut saya sangat penting untuk mempermasalahkan dan menemukan titik atau hubungan kekuasaan dalam membaca perjalanan pemikiran-sikap Asrul yang begitu banyak meng-apropriasi kebudayaan – khususnya sastra - Barat ke Indonesia (pra -pasca Kelimpahan). Sebab dalam perspektif pascakolonial,
literature adalah suatu "zona kontak" yang penting, di mana "transkulturasi" terjadi dalam kompleksitasnya. Sastra yang ditulis oleh wisatawan maupun oleh yang dijajah itu dalam prosesnya menyerap, mengambil, dan penulis aspek-aspek dari budaya “lain”, menciptakan genre, gagasan-gagasan, dan identitas-identitas baru. Akhirnya, literatur juga merupakan sarana penting untuk mengambil, membalikan atau menantang sarana-sarana dominan penggambaran dan ideologi-ideologi kolonial. (Lomba, 2000: 92-93)
Lalu kalau misalnya saya percaya pada Foulcher yang mengatakan bahwa pembentukan karakter Asrul dan Angkatan'45 ini terjadi melalui interaksi dan dengan kebudayaan Eropa melalui pergaulannya di majalah dan penerbitan Belanda yang meletakan dasar bagi suatu daya penglihatan terhadap kemandirian identitas kultural berdasarkan dasar-dasar yang dianggap sah dan dapat berlaku secara internasional (Foulcher, 1997:110) dan mengambil pilihan untuk menjadi pembebas atau sang modernis di antara 'kolaborasi' dan 'resistensi'di masa panasnya anti-kolonial yang juga sungguh-sungguh sadar terhadap motif-motif poltik Belanda. Apakah saya bisa juga menanyakan menjadi pembebas atau sang modernis Asrul dan Angkatan'45 ini, sebenarnya bebas untuk apa? Untuk siapa? Kalau saya bisa menjadikan pertanyaan ini dijawab secara imajiner oleh Asrul, dia mungkin menjawab pertanyaan saya seperti ini: untuk dunia! untuk pembangunan manusia, untuk pembangunan “manusia Indonesia” di panggung dunia.
Melalui jawaban imajiner tersebut saya ingin mengetahui konteks membaca sastra dan pascakolonial. Mengingat dalam pembahasan di atas Foulcher, disebutkan bahwa Asrul dan Angkatan'45 karakter, dibentuk, dan dimainkan oleh kalangan intelektual-sastrawan Belanda. Karena dalam konteks sastra dan tekstualitas pascakolonial menjadi penting sebagai bagian dari wacana kolonial maupun sebagai bagian dari perlawanan. Sebab, kolonialisme bukan merupakan gambaran fisik, tapi juga hanya didukung dan kolonisasi alam pikir. Apalagi Asrul mengalami semua itu secara langsung. Tak dapat disangkal bahwa ke-wargadunia-annya adalah hasil penyerapan dari berbagai interaksinya dengan zona kontak itu. Khususnya, kanonisasi kehebatan dan humanisme budaya Eropa, yang mati manusia tadi. [viii] Manusia yang dalam istilah Asrul adalah “manusia yang sebenarnya dengan segala kemungkinan dan hak-haknya untuk memperjuangkan bentuk hidup atas dasar kebenaran sendiri”. Tak heran jika Asrul banyak menerjemahkan (dalam proyek ATNI atau DKJ) karya-karya sastra drama dengan pengarang: W. Shakespeare, Rabindranath Tagore, Emmanuel Robles, Federico Garcia Lorca, Anthon Chekov, Nikolay Gogol, Albert Camus, Jean Paul Sarte, Henric Ibsen , August Strindberg, Moliere, Jean Anouilh, Bertold Brecht, Francoise Sagan, Alexander Ostrovski, Gerorg Bunchner, W. Butler Yeats, William Congrav, Carel Capek, Tank Dorst, Alezandre Dumas, Edward Albe, TS Elliot, Elmer Rice, Frank Wedekind, Jean Genet, Jean Giraudoux, David Guraudon, Gerhard Hauptman, Friedrich Hebel, Alferd de Mussert, Arthur Miller, Eugene O'Neil, Ferenc Molnar,
PENUTUP
Naskah sastra drama dari karya nama-nama pengarang di atas sampai hari ini kurang-lebih masih tersimpan, dipakai, dan menjadi standar di ranah dan praktik pergaulan teater, khususnya perguruan tinggi yang mengharuskan dirinya memiliki kerangka/kurikulum tertentu untuk menghasilkan capaian-capaian penguasaan teori sekaligus praksis teater yang dilembagakan. Maksud saya dalam menggiring wacana ini ke wacana pendidikan seni atau pun di luar pendidikan seni yang turut membuat standar ini, adalah untuk mencoba menawarkan praktik membaca kontekstual (politis dan kultural) di dalam pergaulan tersebut dan untuk juga gagasan meredefinisi-merekonstruksi teks-teks kanon yang diperlukan sebagai ukuran dalam penilaian kualitas estetik dan artistik saat ini (khususnya di pendidikan seni).
dari teks-teks kanon di atas yang diserap Asrul melalui pergaulan intelektualnya sebagai yang berpendidikan juga dipakai untuk pendidikan juga, nah di pendidikan itu mau tidak memiliki ekses ke luar ranah pendidikannya juga. Kalau memang yang menjadi karakter teater pelajar (amatir) adalah “mutlak berpegangan pada naskah drama untuk main” menjadikan teks kanon ini semakin hegemonik melalui peran pendidikan dan kepercayaannya pada teaternya yang menyumbangkan moralitas kemanusia dan bahasa Indonesia yang baik, dalam pengertian membangun moralitas kedalaman nilai- nilai kemanusian, yakni moralitas universalisme Barat (yang padahal partikular Barat). Yang bukan hanya menampilkan bahasa yang “bisa dilihat dengan mata dan dihayati secara badaniah”, yang “persoalannya hanya berputar sekitar, uang makan dan pakaian – serta hubungan kekelamin”. Sebab Asrul percaya pada pameo “bahasa menunjukan bangsa.”[x]
Kita perlu berani memeriksa dan mengungkap formasi macam apa yang menjadikan teks-teks tertentu dianggap sebagai kanon dan terus berlaku sampai saat ini. Hal ini tentu saja suatu melalui membaca sejarah (genealogis), kalau dalam istilah Foulcher terhadap kondisi litertur Indonesia[xi]: “apa yang menyebabkan kita menjadi begini?”. “Kebeginian” yang macam apa yang terus bergerak di dalam tubuh wacana dan praktik teater hari ini?. Sebab apa yang diinginkan Asrul di dalam teaternya, yakni manusia di luar sastra drama dunia dan teori-metode akting, infrastruktur, serta penggunaan dan pembentukan Bahasa Indonesia di dalam teater, juga sudah bergerak dan memiliki konteks politis-kulturnya masing-masing. Mengingat bahwa teater versi Asrul Sani ini lahir di kota Jakarta, yang banyak dipercayai pusat gejolak dari relasi kekuasaan Belanda-Indonesia. Dan itu semua bukan hanya karena sikap teaternya, tapi juga kerena kompleksitas dari berbagai peristiwa dalam lingkungan budaya saat pikiran-pikiran teater Asrul muncul. Sebab yang terjadi atau pun – untuk yang masih percaya kondisi teater kita hari ini baik-baik saja - nanti teater yang mengalami “kebeginian” ini bukan tidak mungkin kehilangan apresiasi publiknya (atau sedang?) dan menjawab kehilangan itu dengan pragmatisme manajemen seni (pasar ), serta memohon-mohon ke media massa agar ulasan pertunjukannya dimuat. Ketika kita sibuk dengan hal-hal pragmatis tersebut, kita akan kehilangan daya dan tanggung jawab dalam membaca medan sosial dan budaya kita sendiri, di mana di medan itu terdapat publik, yakni penonton, semacam dwi-tunggal dalam praktik teater kita. tapi juga kerena cuplikan dari berbagai peristiwa dalam lingkungan budaya saat pikiran-pikiran teater Asrul muncul. Sebab yang terjadi atau pun – untuk yang masih percaya kondisi teater kita hari ini baik-baik saja - nanti teater yang mengalami “kebeginian” ini bukan tidak mungkin kehilangan apresiasi publiknya (atau sedang?) dan menjawab kehilangan itu dengan pragmatisme manajemen seni (pasar ), serta memohon-mohon ke media massa agar ulasan pertunjukannya dimuat. Ketika kita sibuk dengan hal-hal pragmatis tersebut, kita akan kehilangan daya dan tanggung jawab dalam membaca medan sosial dan budaya kita sendiri, di mana di medan itu terdapat publik, yakni penonton, semacam dwi-tunggal dalam praktik teater kita. tapi juga kerena cuplikan dari berbagai peristiwa dalam lingkungan budaya saat pikiran-pikiran teater Asrul muncul. Sebab yang terjadi atau pun – untuk yang masih percaya kondisi teater kita hari ini baik-baik saja - nanti teater yang mengalami “kebeginian” ini bukan tidak mungkin kehilangan apresiasi publiknya (atau sedang?) dan menjawab kehilangan itu dengan pragmatisme manajemen seni (pasar ), serta memohon-mohon ke media massa agar ulasan pertunjukannya dimuat. Ketika kita sibuk dengan hal-hal pragmatis tersebut, kita akan kehilangan daya dan tanggung jawab dalam membaca medan sosial dan budaya kita sendiri, di mana di medan itu terdapat publik, yakni penonton, semacam dwi-tunggal dalam praktik teater kita. Sebab yang terjadi atau pun – untuk yang masih percaya kondisi teater kita hari ini baik-baik saja - nanti teater yang mengalami “kebeginian” ini bukan tidak mungkin kehilangan apresiasi publiknya (atau sedang?) dan menjawab kehilangan itu dengan pragmatisme manajemen seni (pasar ), serta memohon-mohon ke media massa agar ulasan pertunjukannya dimuat. Ketika kita sibuk dengan hal-hal pragmatis tersebut, kita akan kehilangan daya dan tanggung jawab dalam membaca medan sosial dan budaya kita sendiri, di mana di medan itu terdapat publik, yakni penonton, semacam dwi-tunggal dalam praktik teater kita. Sebab yang terjadi atau pun – untuk yang masih percaya kondisi teater kita hari ini baik-baik saja - nanti teater yang mengalami “kebeginian” ini bukan tidak mungkin kehilangan apresiasi publiknya (atau sedang?) dan menjawab kehilangan itu dengan pragmatisme manajemen seni (pasar ), serta memohon-mohon ke media massa agar ulasan pertunjukannya dimuat. Ketika kita sibuk dengan hal-hal pragmatis tersebut, kita akan kehilangan daya dan tanggung jawab dalam membaca medan sosial dan budaya kita sendiri, di mana di medan itu terdapat publik, yakni penonton, semacam dwi-tunggal dalam praktik teater kita.
Juga sangat tidak adil bila saya menyalahkan Asrul karena membaca saya dalam "kebeginian" dan semacam konsekuensional di atas. Sebab Asrul dengan segala pemikirannya memiliki konteks sendiri. Misalnya, apropriasi yang mencari dari penerjemahan literatur dan pemikirannya tentang fungsi teater sekaligus bagaimana membuat harga baginya. Semua ini karena beban kultural yang dipikulnya selama masa-masa pergolakan berada diraih memanfaatkan posisi secara politis “di antara” atau dalam istilah Homi Bhabha mengalami ambivalensi. Ambivalensi ini merupakan sikap yang diambilnya dalam bernegosiasi dengan: “motif-mortif poltik Belanda” dan penolakannya terhadap “ke-indonesia-an” yang nativistik. Dalam sikap Asrul, ambivalensi ini berati “ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia” untuk mengisi “kekosongan sejarah kebudayaan Indonesia” dan memperoleh otoritas pendidikannya yang mungkin dalam kenyataannya tidak disediakan oleh Indonesia sebelum memperoleh kehidupan misalnya. Bukan tidak mungkin, pemikirannya tentang infrastruktur bagi teater titik awal tentang ada pada masalah ini.
Maka sebagai penutup, saya kira pandangan Chinua Achebe (pengarang Nigeria) yang ingin melihat kata universal dihapus sama sekali dari diskusi-diskusi tentang sastra Afrika dan menjadi sinonim kesempitan Berpikir Eropa yang hanya berguna bagi diri mereka sendiri[xii] dan Ngugi wa Thiong'o (pengarang Kenya) yang menyatakan keheranannya pada gagasan bahwa “Renaisans” atau “Pencerahan” Eropa masih bisa diajarkan di beberapa tempat tanpa mengacu pada sejarah kolonial (Lomba, 2000: 84). Selain itu dapat memicu awal untuk mengganggu kepercayaan satu orang-generasi yang sudah terlembagakan dan sudah bekerja secara hegemonik terhadap generasi selanjutnya. Tentu saja, untuk tidak terjebak nativisme kultural dan esensialismenya di mana pada perkembangannya merupakan hasil dari streotipikasi Barat (turisme seni). Dengan menutup tulisan ini melalui pandangan dua sastrawan Benua Afrika tersebut, saya malah menganggap pencarian saya sebenarnya baru dimulai. Karena membaca terhadap teater yang dibawakan Asrul Sani dari Eropa dan Amerika itu juga sebenarnya sudah dilakukan melalui pergaulan teater pada tahun 80-90'an, hanya saja mungkin membaca itu tidak eksplisit dibaca melalui perspektif pascakolonial dan hilang disekitaran wacana “kemajuan" Teater Indonesia di tengah medan globalisasi media yang datang lebih dekat pada manusia. Maka dari itu, anggapan sawal saya bahwa Asrul mempunyai pengaruh yang penting bagi teater modern Indonesia dibandingkan hanya sebagai penerjemah, tidak konyol-konyol amat. Karena membaca terhadap teater yang dibawakan Asrul Sani dari Eropa dan Amerika itu juga sebenarnya sudah dilakukan melalui pergaulan teater pada tahun 80-90'an, hanya saja mungkin membaca itu tidak eksplisit dibaca melalui perspektif pascakolonial dan hilang disekitaran wacana “kemajuan" Teater Indonesia di tengah medan globalisasi media yang datang lebih dekat pada manusia. Maka dari itu, anggapan sawal saya bahwa Asrul mempunyai pengaruh yang penting bagi teater modern Indonesia dibandingkan hanya sebagai penerjemah, tidak konyol-konyol amat. Karena membaca terhadap teater yang dibawakan Asrul Sani dari Eropa dan Amerika itu juga sebenarnya sudah dilakukan melalui pergaulan teater pada tahun 80-90'an, hanya saja mungkin membaca itu tidak eksplisit dibaca melalui perspektif pascakolonial dan hilang disekitaran wacana “kemajuan" Teater Indonesia di tengah medan globalisasi media yang datang lebih dekat pada manusia. Maka dari itu, anggapan sawal saya bahwa Asrul mempunyai pengaruh yang penting bagi teater modern Indonesia dibandingkan hanya sebagai penerjemah, tidak konyol-konyol amat. hanya mungkin membaca itu tidak eksplisit dibaca melalui perspektif pascakolonial dan hilang disekitaran wacana “kemajuan” Teater Indonesia di medan globalisasi media yang datang lebih dekat pada manusia. Maka dari itu, anggapan sawal saya bahwa Asrul mempunyai pengaruh yang penting bagi teater modern Indonesia dibandingkan hanya sebagai penerjemah, tidak konyol-konyol amat. hanya mungkin membaca itu tidak eksplisit dibaca melalui perspektif pascakolonial dan hilang disekitaran wacana “kemajuan” Teater Indonesia di medan globalisasi media yang datang lebih dekat pada manusia. Maka dari itu, anggapan sawal saya bahwa Asrul mempunyai pengaruh yang penting bagi teater modern Indonesia dibandingkan hanya sebagai penerjemah, tidak konyol-konyol amat.
Bandung-Yogyakarta, 2012.
*dimuat di
Jurnal Panggung Volume 23 No. 2
Jurnal Panggung Volume 23 No. 2, Juni 2013
[i] Surat-Surat Kepercayaan adalah buku kumpulan tulisan Asrul Sani yang disunting Ajip Rosidi dan diterbitkan Pustaka Jaya, tahun 1997. Di dalam buku ini juga terdapat Surat Kepercayaan Gelanggang yang ditulis Asrul sebagai sikap kultural atau pandangan dunia para seniman Angkatan'45.
[ii] Biografi singkat di atas tentu saja tidak signifikan untuk membaca bagaimana interaksi Asrul dan Angkatan'45 dalam hubungan politik dan budaya (literatur) Belanda-Indonesia. Keith Foulcher dalam esainya yang akan dibahas ini mengutip dari esai HB Jassin “Humanisme Universil” (tahun 1967, yang kemudian dihapus dalam edisi revisi tahun 1985). Kelompok Chairil Anwar pertama kali memperoleh saluran resmi dalam berekspresi melalui penerbitan kebudayaan Gema Suasana bulan Januari 1948. Dewan redaksinya terdiri dari Asrul Sani, Chairil Anwar, Mochtar Apin, Rivai Apin, dan Bahharudin. Majalah kebudayaan ini diterbitkan oleh percetakan Belanda Opbouw (Pembangoenan). Dan juga pada saat yang sama berinteraksi secara akrab dengan pusat aktivitas lain dalam majalah kebudayan berbahasa Belanda yang terbit dua kali tayang pada November 1947. Dua penerbitan majalah yang sama-sama diinisiasi oleh Belanda. Kalau dalam majalah Opbouw mereka memiliki tangung jawab penuh pada pengelolaan uang dan keredaksian, tapi di majalah Orientatie mereka ada dalam relasi (pada awalnya) kepentingan politik Belanda, dalam mendorong pertukaran budaya dan saling pengertian dalam sebuah iklim yang terkarakterisasi dengan perasaan saling bermusuhan dan penuh . Dan semuanya ada di bawah pengarahan pribadi penulis Hindia Belanda Rob Niewenhuys. Sampai akhirnya, setelah berhasil, Niewenhuys berusaha untuk memberikan karakter 'sastra' sepenuhnya pada majalah ini., dalam upayanya dari tujuan propaganda pemerintah Belanda. Dan sebagai tempat pertemuan bagi individu-individu yang berasal dari rasa apa pun dalam melihat 'Indonesia sebai tanah air kebudayaan mereka. Di inilah majalah kelompok Chairil Anwar dijembatani untuk belajar dengan Eropa modern. Dalam pengertian penyediaan buku-buku, maupun tempat untuk diskusi. Mereka juga mengiring penulis-penulis Indonesia melalui penerjemahan jumlah karya sastera Indonesia yang dimuat dalam Orientatie. Dan memainkan peranan dalam hal pembentukan Angkatan'45 sebagai juru bicara revolusi Indonesia yang memiliki karakter antipati pada motif-motif politik Belanda dan kebudayaan Belanda, sebagaimana yang pasti akan mereka ketahui tentang gejala nasionalisme kebudayaan.
[iii]Untuk mendapatkan pengetahuan lebih konprehensif bisa dibaca lebih dalam dalam esai Keith Foulcher ini yang juga terdapat di dalam buku Asrul Sani 70 Tahun. Hal: 85-113
[iv] Fungsi Teater, Budaya Jaya No. 68, 1973. Di ambil dari SKK
[v] Sedang Yang Disia-siaakan, Diterbitkan di maalah Siasat, 30 Agustus 1953 . Diambil dari SKK. (Asrul, 1997: 216)
[vi]Lihat, Teater Saya Teater Kini, Arifin C. Noer, dalam buku Teater Indonesia: Konsep, Sejarah, dan Problema. tomi. F Awuy (penyuting), DKJ, tahun 1999. Hal. 106-128. Arifin C.Noer sempat membahas kritik tentang teknikan pemeranan ini di dalam esainya. Arifin mengetengahkan konsep inner-activity yang di dalam teori-metode akting Statilavsky menjadi dasar teorinya. “Di mana akor harus mempelajari kebudayan yang melatarbelakangi secara lengkap, di samping ia juga menangkap secara tepat penafiran secara fisiologis, sosiologis, dan psikologis, serta hal-hal lain yang berhubungan dengan kebutuhan permainannya.
[vii] Apropiasi adalah menjadikan sesuatu yang milik sendiri., “melalui proses peyerapan dan pembentukan ulang. Agar dapat menurunkan beban pengalaman kultural seseorang” (Bill Ashcroft, Gareth Griffths, Helen Tiffin, Menelanjangi Kuasa Bahasa, Qalam, Hal. 42)
[viii] Untuk memahami lebih jauh tentang hubungan pascakolonialisme dan humanisme, lihat: Leela Gandhi, Postcolonial Theory A Critical Introduction, 1998, Hal. 31-53. Saya akan mengutip sedikit di sini. Leela menyebutkan, “dalam memahami hubungan yang menjengkelkan antara poskolonialisme dengan humanisme, sangat perlu untuk mengetahui bahwa kajian poskolonial melahirkan dua pendekatan yang nyata secara kronologis, atas sejarahdan akibat-akibat humanisme. Pertama, berkaitan dengan humanisme sebagai program budaya dan pendidikan yang berawal dari kebangkitan Italia sekitar pertengahan abad ke-16 dan berkembang dengan cepat menjadi kajian wilayah yang sekarang kita kenal sebagai ilmu kemanusian. Ke dua, pendekatan postrukturalis membawa makna yang dan kronologi yang lebih tepat dengan gagasan humanisme. Kajian ini mengidentifikasi humanisme dengan teoritivitas pengetahuan yang secara filosofis dikembangkan oleh Bacon, Descartes, dan Locke, dan dari sisi ilmu pengetahuan yang disarikan oleh Galileo dan Newton. Revolusi filosofi dan pengetahuan yang disampaikan untuk menemukan pemenuhannya sesuai di abad ke-18 di mana ia diterima sebagai Pencerahan atau Aufklarung. ”
[ix] Saya sengaja menyebutkan nama-nama pengarang yang digunakan untuk menjelaskan Asrul di dalam tulisan saya, karena menurut saya penting untuk menunjukan informasi/ data yang sudah sulit dicari. Untuk inforasi lain tentang berapa jumlah karya sastra perpengaran yang diterjemahkan Asrul bisa dilihat di buku Asrul Sani 70 Tahun, Hal. 306-308.
[x] Lihat SKK, Bahasa Indonesia dalam Film dan Teater, Hal.276.
[xi] Lihat, Keith Foulcher , In Search of the Postcolonial in Indonesian Literature, di dalam Clearing A Space: Kritik Pasca Kolonial tentang Sstra Indonesia Modern.
[xii] Lihat, Chinua Achebe, Kritik Klonolialis, Pagi Namun Di Hari Reasi. Heinemann: London dll, 1977, 1-18
Comments